Abstrak
Adanya OJK, fungsi pengawasan lembaga
keuangan baik bank maupun bukan bank akan diambil alih OJK. Sementara Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai regulator kebijakan
moneter untuk menjaga stabilitas moneter. Dengan demikian pembentukan OJK akan
berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan
asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani
kepentingan setiap regulator pengawasan saat ini.
Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK yaitu : Melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan
jasa keuangan di sektor perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar
Modal; kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Secara kelembagaan, OJK
berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK tidak menjadi bagian
dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya
unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas
di sektor jasa keuangan yang mempunyai relasi dan keterkaitan yang kuat dengan
otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dan otoritas
moneter (Bank Indonesia).
Berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (1)
huruf (a) UU No. 21 Tahun 2011 menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam
mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan
pengawasan yang berkaitan dengan microprudential,
sedangkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential. Berkaitan dengan hal tersebut, tugas
pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara independen oleh OJK,
karena pengaturan microprudential dan
macroprudential akan sangat
berkaitan. Dengan demikian dapat dilihat
bahwa OJK masih memiliki ”hubungan khusus” dengan Bank Indonesia terutama dalam
pengaturan dan pengawasan perbankan.
I. PENDAHULUAN
Amanat pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia secara
jelas telah disebutkan dalam Undang-Undang Bank Indonesia yang merupakan
Undang-Undang Organik sebagai pelaksanaan dari Pasal 23 D UUD 1945, sehingga
nampak terdapat materi sisipan untuk pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan
(sekarang disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan). Hal tersebut kemudian
ditindak lanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dimana OJK memiliki kewenangan terhadap beberapa
sektor penting penunjang perekonomian Indonesia antara lain : Lembaga
perbankan; Pasar Modal; Perasuransian; dana pensiun dan lembaga pembiayaan.
Selanjutnya OJK dibentuk
dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan :[1]
a. Terselenggara secara teratur, adil,
transparan dan akuntabel;
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat.
Apabila dilihat dari
sistematika Undang-Undang Bank Indonesia, Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia
berada dalam lingkup Bab VI tentang Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank,
sementara lingkup OJK tidak hanya dibatasi untuk melakukan pengawasan terhadap
bank, namun juga pengawasan terhadap lembaga keuangan lain yang bukan merupakan kewenangan Bank
Indonesia seperti lembaga asuransi, dana pensiun, sekuritas (pasar modal),
modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.[2]
Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia terdapat pembagian
tugas dalam melaksanakan pengawasan perbankan, yaitu tugas mengatur bank dilaksanakan
oleh Bank Indonesia, sementara tugas mengawasi bank dilaksanakan oleh OJK.
Namun praktiknya, pada saat pemerintah
mengajukan RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terlihat jelas bahwa OJK mempunyai
kewenangan lebih luas, yaitu tidak semata-mata hanya kewenangan sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia, namun meliputi seluruh tugas Bank
Indonesia terkait pengaturan dan pengawasan bank sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 8 huruf (c) Undang-Undang Bank
Indonesia akan beralih kepada OJK.
Adanya OJK, fungsi pengawasan
lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank akan diambil alih OJK. Sementara
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai regulator kebijakan
moneter untuk menjaga stabilitas moneter.
Apabila ditinjau dari sejarah,
Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral menyatakan bahwa Bank
Sentral berkewajiban untuk membina dan mengawasi perbankan di Indonesia, baik
dari sudut ekonomi perusahaan terutama dengan jalan pengaturan dan penjagaan likuiditas
dan solvabilitas bank, maupun dari sudut moneter dengan jalan pengaturan dan
pengawasan terhadap pemberian kredit bank.[3] Sementara itu, pengawasan terhadap lembaga
keuangan non bank dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Lembaga keuangan di Indonesia,
selain perbankan terdapat Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Sebagaimana
diketahui definisi LKBB berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.792
Tahun 1990 adalah semua badan yang memiliki kegiatan di bidang keuangan berupa
penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama untuk membiayai
investasi perusahaan. Pembinaan dan pengawasan serta kebijakan perizinan
terhadap LKBB dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini dilakukan oleh Departemen
Keuangan.
Kegiatan utama lembaga
keuangan adalah menghimpun dan menyalurkan dana, namun dengan berjalannya
waktu, berkembang pula kegiatan yang dilakukan oleh LKBB tidak hanya melakukan
kegiatan berupa pembiayaan investasi perusahaan, namun telah berkembang menjadi
pembiayaan untuk antara lain kegiatan konsumsi dan distribusi barang dan jasa.
LKBB di Indonesia antara lain adalah pasar modal, asuransi, pegadaian,
perusahaan pembiayaan, dan dana pensiun.
Adanya LKBB yang semakin
berkembang, maka kebijakan moneter yang akan diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
otoritas moneter menghadapi tantangan yang berat karena berbagai faktor yang
mendukung kebijakan moneter mengalami perkembangan yang luar biasa antara lain
makin kompleksnya sistem keuangan, yaitu lembaga keuangan baru terutama terkait
dengan berkembangnya pasar modal sebagai sumber pendanaan alternatif bagi
perusahaan.
Dalam hal pendanaan bagi
masyarakat, hubungan antara perbankan dan pasar modal sangat erat. Apabila
masyarakat menghadapi kesulitan dalam pengambilan kredit di bank, karena
misalnya persyaratan yang ketat, maka masyarakat dapat mencari alternatif salah
satunya dengan mengambil dana dari pasar modal. Perkembangan pasar modal yang
sangat pesat akan berimbas pada sektor moneter, oleh karenanya perlu pengaturan
yang jelas antara perbankan dan pasar modal.
Koordinasi antara kebijakan
moneter dengan pasar modal akan mempengaruhi kebijakan moneter. Dalam hal ini, apabila
perbankan mengalami kesulitan likuiditas, maka Bank Indonesia berperan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir),
namun dalam pasar modal tidak ada badan yang berperan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir).
Harapan ke depan terdapat
pembagian tugas untuk badan yang berperan sebagai sumber dana atau LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir),
yaitu pasar modal diharapkan bertindak sebagai sumber dana investasi jangka
panjang bagi perusahaan, sementara perbankan berperan sebagai sumber dana
menengah dan jangka pendek.
Setelah Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1968 tentang Bank Sentral diganti dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, maka tugas Bank Indonesia adalah menetapkan peraturan,
memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari
bank, melaksanakan pengawasan, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.[4] Bahkan secara tegas
disebutkan pula bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan
bank, Bank Indonesia diberikan wewenang untuk menetapkan peraturan dan
perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha bank serta mengenakan sanksi terhadap
bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Berdasarkan hal tersebut di
atas, maka Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah
mengamanatkan bahwa tugas pengawasan dan pengaturan diserahkan kepada Bank
Indonesia. Apabila tugas pengaturan dan pengawasan diserahkan kepada dua
lembaga yang berbeda akan mengakibatkan suatu kerancuan, karena pada prinsipnya
adalah lembaga yang mengatur adalah juga merupakan lembaga yang mengawasi.
II.
PEMBAHASAN
Dalam Undang-Undang No.7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10
Tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan)[6] disebutkan bahwa tugas mengatur diartikan dengan pembinaan yang merupakan upaya
menciptakan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan,
kepengurusan, kegiatan usaha, pelaporan, serta aspek lain yang berhubungan
dengan kegiatan operasional bank.
Pendapat dari Pengamat Ekonomi
Aviliani menilai bahwa pemberlakuan OJK saat ini belum diperlukan, karena
berdasarkan pengalaman di beberapa Negara, penerapan OJK tidaklah terlalu
efektif atau bahkan gagal, sehingga kebijakan sektor keuangan seharusnya tetap
ditangani oleh otoritas moneter, Bank Indonesia, apabila pihak lain yang
menangani, maka kebijakan akan semakin lambat.[7]
Hal senada dikemukakan oleh
Ryan Kiryanto, pengamat perbankan,[8] yang menilai pengawasan perbankan di
bawah Bank Indonesia justru lebih baik apabila seluruh kegiatan di sektor
perbankan dipegang oleh OJK, sebab kondisi perbankan sangat dekat dengan kebijakan
moneter yang menjadi otoritasnya Bank Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
OJK yang diterapkan di Inggris dan Hongaria terbukti gagal, bahkan di Australia
yang sebagian pengawasan dilakukan Bank Sentral dan sebagian lagi dilakukan
oleh OJK, tetap juga gagal, sehingga perlu tidaknya OJK harus dibahas lebih
dalam lagi. Apabila OJK tetap direalisasikan, maka lembaga ini akan terkesan
superbodi, sebab lembaga tersebut tidak hanya mengawasi bank, tetapi juga
mengawasi lembaga keuangan yang jumlahnya sangat banyak.
Hal senada ditambahkan oleh
Aviliani,[9] yang menegaskan penolakan atas pembentukan OJK, sebab dikhawatirkan laporan
dari bank akan lama dikelola OJK, karena lembaga OJK tidak hanya mengawasi
perbankan, tapi seluruh lembaga keuangan, sehingga sistem pengawasan menjadi
tidak fokus. Dalam rangka memperbaiki pengawasan perbankan, tidak perlu
dibentuk OJK, namun Bank Indonesia harus melakukan berbagai perubahan, seperti
mendorong bank-bank untuk go public,
mengintegrasikan pengawasan bank dan anak-anak usahanya, dan melarang
beroperasi bank milik keluarga.
Pendapat serupa disampaikan
oleh Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, yang menyampaikan bahwa di semua
Negara dalam aspek stabilitas keuangan, pengawasan bank berada di Bank Sentral,
dengan pertimbangan bahwa yang paling siap untuk bertindak ketika ada ancaman
stabilitas sistem keuangan adalah Bank Sentral.[10]
Sementara itu, Bank Indonesia
mempunyai prinsip[11] bahwa model pengawasan bank yang paling
cocok adalah oleh Bank Sentral. Namun, apabila OJK tetap dibentuk dan sistem
pengawasan bank sudah menjadi kewenangan OJK sepenuhnya, maka Bank Indonesia
tetap memiliki keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat.
Hal tersebut sangat penting untuk mendukung fungsi Bank Indonesia dalam menjaga
kestabilan mata uang rupiah dan sebagai LoLR
(sumber pemberi pinjaman terakhir) dalam rangka menyelamatkan sistem keuangan.
Bank Indonesia memerlukan
informasi yang memadai terhadap lembaga keuangan yang sistemik, untuk
mempercepat penyaluran likuiditas, mengingat faktor kecepatan dan ketepatan
dalam pemberian bantuan kepada bank yang tengah menghadapi krisis likuiditas
sangat penting dan transaksi pembayaran antar bank terjadi dalam hitungan
detik. Untuk itu maka dengan adanya pemisahan fungsi pengawasan bank dari Bank
Indonesia, dapat saja berdampak pada kurang optimalnya peran Bank Indonesia
dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana kebijakan moneter, sistem
pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.
Hal berbeda dikemukan oleh
Novri Irza Hidayattullah, praktisi perbankan,[12] yang mengemukakan bahwa idealnya fungsi
pengawasan harus lepas dari Bank Indonesia, sehingga Bank Indonesia akan fokus
pada pemegang otoritas moneter termasuk menjaga stabilitas nilai tukar dan
inflasi yang sesuai bagi perekonomian.
Terlepas dari beberapa
pendapat tersebut di atas, pembentukan OJK tersebut yang pasti akan berdampak
pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan asuransi,
pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani kepentingan
setiap regulator pengawasan saat ini.
Tugas OJK sesuai dengan Pasal
6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK yaitu : Melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan terhadap :
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor
perbankan;
b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar
Modal;
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan
lainnya.
Secara kelembagaan, OJK berada
di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK tidak menjadi bagian dari
kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur
perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor
jasa keuangan yang mempunyai relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas
lain, dalam hal ini otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dan otoritas moneter
(Bank Indonesia).[13]
Disadari bahwa berbagai krisis
ekonomi dan kemudian pada akhirnya terjadi krisis global yang menerpa Indonesia,
telah memberikan pelajaran penting terkait dengan fungsi pengawasan bank pada Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kegagalan
di bidang pengawasan perbankan tersebut dijadikan sebagai tolok ukur untuk membentuk
lembaga pengawasan bank.
Dalam rangka memperkuat
pengawasan sektor keuangan tersebut kemudian dibentuk OJK, dengan harapan
pengawasan terhadap lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank menjadi lebih
baik. Adapun pembentukan OJK disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 34
Undang-Undang Bank Indonesia, akibatnya model OJK yang tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia akan dianggap melanggar
Undang-Undang.
Konsep dibentuknya lembaga
pengawasan di Indonesia yang dipilih adalah otoritas penuh. Kewenangan
pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan LKBB berada dalam satu lembaga,
sehingga tiga otoritas pengawasan yaitu pasar modal, perbankan, dan LKBB akan
bergabung menjadi satu otoritas yang bersifat independen. Artinya Bank Sentral
hanya memiliki kebijakan moneter tanpa berwenang melakukan pengawasan bank.
Agar Bank Sentral tetap mendapatkan informasi mengenai kondisi bank, maka Bank
Sentral berkoordinasi dengan otoritas pengawasan tersebut dengan cara Bank
Sentral menempatkan pejabatnya secara ex
officio sebagai anggota Dewan Komisioner otoritas pengawasan sekaligus
sebagai Chief Supervisory Officer (CSO).
Saat ini dirasakan kebutuhan
atas sistem pengawasan satu pintu menjadi penting, baik terhadap lembaga
keuangan bank maupun LKBB, mengingat banyak produk dari LKBB dipasarkan melalui
industri perbankan, sehingga akan memudahkan dalam pemeriksaannya. Namun
demikian, pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasan tersebut harus merupakan
lembaga yang independen tidak berada di bawah Pemerintah, untuk menjamin
lembaga tersebut bebas dari intervensi politik atau kepentingan.
Selain itu, untuk
menghindarkan adanya conflict of
interest, mengingat Pemerintah memiliki pula saham di beberapa bank di
Indonesia. Sesuai dengan amanat Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia, maka
untuk mewujudkan independensi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Bank
Indonesia, maka lembaga pengawasan tersebut harus independen, sehingga harus
bertanggung jawab kepada DPR bukan kepada Presiden. Pemisahan fungsi pengawasan
perbankan dari Bank Indonesia harus pula didukung dengan sistem hukum yang baik
untuk menjamin adanya koordinasi antara otoritas perbankan dan otoritas
moneter.
Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011
tentang OJK, mengatur bahwa OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam
menyusun pengaturan tertentu terkait dengan pengawasan di bidang perbankan.
Kemudian, Pasal 40 UU No. 21 Tahun 2011 lebih lanjut mengatur bahwa untuk
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam rangka penyusunan
peraturan pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk melakukan
pemeriksaan terhadap bank dengan menyampaikan secara tertulis terlebih dahulu
kepada OJK.
Selanjutnya Pasal 69 ayat (1)
huruf (a) UU No. 21 Tahun 2011 menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam
mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan
pengawasan yang berkaitan dengan microprudential,
sedangkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential. Berkaitan dengan hal tersebut, jelas bahwa
tugas pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara independen oleh
OJK, karena pengaturan microprudential dan
macroprudential akan sangat
berkaitan.
Dengan demikian dapat dilihat
bahwa OJK masih memiliki ”hubungan khusus” dengan Bank Indonesia terutama dalam
pengaturan dan pengawasan perbankan. Dapat dijelaskan bahwa bagaimanapun Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral, dimana sebelum keluarnya UU OJK dan pengalihan
pada akhir bulan Desember Tahun 2013 yang akan datang, Bank Indonesia masih
mengemban dan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank dan me[14]miliki
pengalaman lebih lama dalam mengatur dan mengawasi perbankan sehingga masukan
pengaturan yang disampaikan oleh Bank Indonesia akan memliki pengaruh yang
besar dalam pengaturan yang dilakukan oleh OJK.
Selain itu, ”hubungan khusus”
antara OJK dengan Bank Indonesia lainnya dapat dilihat dalam Pasal 41 ayat (2)
UU No. 21 Tahun 2011, dimana OJK menginformasikan kepada Bank Indonesia untuk
melakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan kesulitan likuiditas
atau memburuknya kesehatan pada bank. Adapun yang dimaksud dengan
langkah-langkah tersebut yaitu pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek
dalam menjalankan fungsi Bank Indonesia sebagai ”lender of the last resort” (LoLR).
Berdasarkan hal tersebut, maka
apabila bank mengalami kesulitan likuiditas atau memburuknya kesehatan bank,
maka Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada bank dengan jaminan agunan
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa keberadaan Bank Indonesia sebagai LoLR
masih sangat diperlukan disektor perbankan dan OJK nantinya masih akan
bergantung kepada Bank Indonesia khususnya yang terkait dengan penyelamatan
bank.
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, dapat dikaji bahwa Independensi OJK secara kelembagaan dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya, khususnya dalam sektor perbankan harus dilaksanakan
dengan lebih optimal, karena masih terdapat hubungan yang sangat erat antara
OJK dengan Bank Indonesia. Dengan demikian meskipun pengawasan
perbankan telah beralih
kepada OJK sebaga lembaga pengawasan, namun Bank Indonesia tetap memiliki
kewenangan dan akses terhadap data dan informasi dari lembaga-lembaga perbankan.
Oleh karena itu Undang-Undang
Bank Indonesia perlu diamandemen, khususnya terkait dengan (1) kewajiban bank
untuk menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia terkait dengan
kelancaran pelaksanaan tugas di bidang kebijakan moneter, sistem pembayaran,
dan stabilitas sistem keuangan, (2) pengaturan fungsi Bank Indonesia di bidang
stabilitas sistem keuangan termasuk kewenangan untuk memantau (surveilance), memeriksa bank dalam
rangka pelaksanaan tugas moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem
keuangan.
Pembentukan otoritas
pengawasan haruslah menjadi solusi permasalahan sistem keuangan selama ini,
bukan sebaliknya, justru menjadi permasalahan baru. Dewasa ini, perkembangan
lembaga keuangan sangat pesat dan menjadikan permasalahan dalam sistem keuangan
semakin kompleks karena semakin terintegrasinya antara sub sistem pasar uang,
pasar modal, pasar saham, pasar komoditas, berikut derivasi produknya, semuanya
ini memerlukan lembaga pengawas yang andal, transparan, akuntabel (dapat
dipertanggungjawabkan), dan kredibel (dipercaya).
Konsep ke depan, dengan
belajar dari pengalaman kasus Bank Century sebagai pelajaran berharga, pengalaman
saat krisis moneter Tahun 1997 – 1998, dan krisis keuangan global yang
meruntuhkan lembaga-lembaga keuangan terkemuka di dunia, serta pengalaman Negara
maju dalam mengatasi krisis keuangannya, maka yang harus dilakukan adalah
merespons persoalan krisis yang dihadapi karena ke depan yang diperlukan adalah
penguatan koordinasi, bukan hanya mengambil alih tugas pengawasan bank yang
telah ada yang dirasakan masih kurang efektif untuk menjaga kelangsungan usaha
individual bank ataupun merespon pencegahan krisis atau meminimalkan dampak
krisis.
Sektor keuangan, khususnya
perbankan, dapat diibaratkan sebagai organ jantung dalam tubuh, sehingga
apabila perbankan terganggu, maka organ tubuh lainnya dapat ikut terganggu. Sebagaimana
diketahui bahwa untuk jangka menengah dan panjang, perbankan masih mendominasi
sistem keuangan di Indonesia, sementara konglomerasi atau universal banking yang merupakan awal dari pertimbangan pendirian
OJK menjadi sesungguhnya menjadi tidak relevan, karena konglomerasi atau universal banking belum berkembang di
Indonesia.
Selanjutnya, koordinasi antara
pengaturan dan pengawasan, otoritas perbankan dan moneter dengan otoritas fiskal
untuk memperkuat deteksi dini tentang arah dan kecenderungan di pasar keuangan juga
menjadi sangat penting.
Dapat dilihat dari perjalanan
Bank Indonesia pasca keluarnya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
independen, bahwa pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia saat ini
lebih efektif dibandingkan sebelum independensi Bank Indonesia, sehingga dalam
beberapa tahun terakhir ini sistem perbankan lebih stabil dengan kecenderungan
menguat. Bank Indonesia saat ini sudah menerapkan pengawasan bank secara
konsolidasi.
Untuk itu, integrasi
pengawasan jasa keuangan pada saat ini diperlukan dalam rangka peningkatan
efektivitas pengawasan jasa keuangan, karena akan memperkuat perumusan dan
pengendalian kebijakan moneter dan memperkokoh stabilitas ekonomi makro. Selain
itu, apabila dilihat dari kesiapan, Bank Indonesia telah memiliki infrastruktur
yang memadai untuk pengawasan lembaga jasa keuangan.
III.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
- Pembentukan OJK akan berdampak pada
perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan asuransi,
pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani
kepentingan setiap regulator pengawasan di Indonesia.
- Secara kelembagaan, OJK berada di
luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK tidak menjadi bagian dari
kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya
unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan
otoritas di sektor jasa keuangan yang mempunyai hubungan koordinasi dan
keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal
(Menteri Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Indonesia).
- Independensi OJK secara kelembagaan
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, khususnya dalam sektor
perbankan harus dilaksanakan dengan lebih optimal, karena masih terdapat
hubungan yang sangat erat antara OJK dengan Bank Indonesia. Dengan
demikian meskipun pengawasan perbankan telah
beralih kepada OJK
sebaga lembaga pengawasan, namun Bank Indonesia tetap memiliki
kewenangan dan akses terhadap data dan informasi dari lembaga-lembaga
perbankan. Untuk itu sistem integrasi sistem keuangan di Indonesia dapat
berjalan dengan maksimal yang didasarkan pada legal framework yang jelas dan regulasi yang efektif.
2.
Saran
a. Sebaiknya harus dipastikan koordinasi yang
efektif antara kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan.
b. Dengan telah dibentuknya OJK, yang harus diantisipasi adanya risiko terhadap stabilitas sistem perbankan dan kemajuan
di bidang pengawasan bank yang telah dicapai oleh Bank Indonesia saat ini. Hal
ini, karena lembaga baru tidak dapat serta merta memiliki kemampuan dan
pengalaman untuk melakukan pengawasan bank secara efektif. Dalam kondisi krisis
ekonomi, bahkan dapat menimbulkan systemic
risk (risiko sistemik) dan moral
hazard. Hal tersebut juga dapat merusak sistem pengawasan bank yang saat
ini sudah berjalan dengan baik. Selain itu, kegagalan sistem pengawasan bank
akan menurunkan kepercayaan pasar terhadap industri perbankan Indonesia yang
pada akhirnya akan meningkatkan country
risk (risiko Negara).
c. Pembentukan OJK sebagai lembaga baru
membutuhkan banyak biaya, untuk
penyediaan sumber daya manusia sarana, dan prasarana pendukung, mengingat
lembaga di luar Bank Indonesia mendapatkan dana operasional dari Negara yang
berasal dari APBN, maka keterbatasan anggaran akan tetap terjadi walaupun
keadaan tidak krisis. Berbeda dengan Bank Indonesia yang memiliki sumber
pendanaan sendiri, sehingga pengembangan sistem pengawasan bank tidak akan
terhalang oleh keterbatasan anggaran.
d. Independensi OJK adalah faktor yang sangat
penting bagi lembaga pengawas. Apabila pengawasan bank dilakukan oleh lembaga
tersendiri yang berada di bawah Menteri atau Presiden, tidak ada jaminan
lembaga tersebut akan bebas dari intervensi politik atau kepentingan. Selain
itu, dapat pula timbul conflict of
interest mengingat Pemerintah juga memiliki saham di beberapa bank besar di
Indonesia. Apabila pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia akan menjadi
berbeda, karena Bank Indonesia adalah lembaga yang independensinya diamanatkan
dan dijamin oleh Konstitusi dan Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku :
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia 2010.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,
Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.
Humas Bank Indonesia, Krisis Global, Dan Penyelamatan Sistem
Perbankan Indonesia, Jakarta, 2010.
Muhammad Djumhana, Hukum
Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Zulfi Diane Zaini, Independensi
Bank Indonesia Dan Penyelesaian Bank Bermasalah, Keni Media, Bandung, 2012.
Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Books Terrace & Library (Pusat
Informasi Hukum Indonesia ), Bandung , 2005.
B. Perundang-Undangan Dan Perarturan Lainnya :
Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
yang kemudian sebagian pasal-pasalnya telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yang kemudian sebagian pasal-pasalnya telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan yang kemudian Undang-Undang tersebut terakhir telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
C.
Sumber Lain :
Fransiska Ari Indrawati, Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU
OJK, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan Bank Indonesia Volume 10
Nomor 1, Januari – April 2012.
Novri Irza Hidayattullah, ”Saatnya OJK Segera Diimplementasikan”,
Surat Kabar Kontan, Jakarta, Tanggal 16 Februari 2010.
[3/02/2010].
[1]
Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.
[2]Penjelasan
Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia.
[3]Butir
III.d Penjelasan Umum Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
[4]Pasal 8
dan Pasal 24 Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
[5]Penjelasan
Umum alinea 10 Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
[6]Pasal 29
ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan).
[12]Novri Irza Hidayattullah, ”Saatnya OJK Segera Diimplementasikan”,
Surat Kabar Kontan, Jakarta, Tanggal 16 Februari 2010.
[13] Penjelasan Umum Paragraf 10 UU No. 21 Tahun
2011 tentang OJK.
[14]
Fransiska Ari Indrawati, Mencermati Celah
Independensi OJK Dalam UU OJK, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan
Bank Indonesia Volume 10 Nomor 1, Januari – April 2012.