Rabu, 12 Desember 2012

HUBUNGAN HUKUM BANK INDONESIA DENGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) Oleh : Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H.


Abstrak
Adanya OJK, fungsi pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank akan diambil alih OJK. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas moneter. Dengan demikian pembentukan OJK akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani kepentingan setiap regulator pengawasan saat ini.
Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK yaitu : Melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap  kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. 
Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang mempunyai relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Indonesia).
Berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf (a) UU No. 21 Tahun 2011 menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential, sedangkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential.  Berkaitan dengan hal tersebut, tugas pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara independen oleh OJK, karena pengaturan microprudential dan macroprudential akan sangat berkaitan.  Dengan demikian dapat dilihat bahwa OJK masih memiliki ”hubungan khusus” dengan Bank Indonesia terutama dalam pengaturan dan pengawasan perbankan.

Kata Kunci : Hubungan Hukum; Bank Indonesia dan OJK

I.     PENDAHULUAN
Amanat pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia  secara jelas telah disebutkan dalam Undang-Undang Bank Indonesia yang merupakan Undang-Undang Organik sebagai pelaksanaan dari Pasal 23 D UUD 1945, sehingga nampak terdapat materi sisipan untuk pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (sekarang disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan). Hal tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dimana OJK memiliki kewenangan terhadap beberapa sektor penting penunjang perekonomian Indonesia antara lain : Lembaga perbankan; Pasar Modal; Perasuransian; dana pensiun dan lembaga pembiayaan.
Selanjutnya OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan :[1]
a.       Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;
b.      Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
c.       Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Apabila dilihat dari sistematika Undang-Undang Bank Indonesia, Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia berada dalam lingkup Bab VI tentang Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank, sementara lingkup OJK tidak hanya dibatasi untuk melakukan pengawasan terhadap bank, namun juga pengawasan terhadap lembaga keuangan  lain yang bukan merupakan kewenangan Bank Indonesia seperti lembaga asuransi, dana pensiun, sekuritas (pasar modal), modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.[2] Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia terdapat pembagian tugas dalam melaksanakan pengawasan perbankan, yaitu tugas mengatur bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sementara tugas mengawasi bank dilaksanakan oleh OJK.
Namun praktiknya, pada saat pemerintah mengajukan RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terlihat jelas bahwa OJK mempunyai kewenangan lebih luas,  yaitu  tidak semata-mata  hanya kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia, namun meliputi seluruh tugas Bank Indonesia terkait pengaturan dan pengawasan bank sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 8 huruf (c)  Undang-Undang Bank Indonesia akan beralih kepada OJK.
Adanya OJK, fungsi pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank akan diambil alih OJK. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas moneter.
Apabila ditinjau dari sejarah, Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral menyatakan bahwa Bank Sentral berkewajiban untuk membina dan mengawasi perbankan di Indonesia, baik dari sudut ekonomi perusahaan terutama dengan jalan pengaturan dan penjagaan likuiditas dan solvabilitas bank, maupun dari sudut moneter dengan jalan pengaturan dan pengawasan terhadap pemberian kredit bank.[3] Sementara itu, pengawasan terhadap lembaga keuangan non bank dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Lembaga keuangan di Indonesia, selain perbankan terdapat Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Sebagaimana diketahui definisi LKBB berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.792 Tahun 1990 adalah semua badan yang memiliki kegiatan di bidang keuangan berupa penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama untuk membiayai investasi perusahaan. Pembinaan dan pengawasan serta kebijakan perizinan terhadap LKBB dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Kegiatan utama lembaga keuangan adalah menghimpun dan menyalurkan dana, namun dengan berjalannya waktu, berkembang pula kegiatan yang dilakukan oleh LKBB tidak hanya melakukan kegiatan berupa pembiayaan investasi perusahaan, namun telah berkembang menjadi pembiayaan untuk antara lain kegiatan konsumsi dan distribusi barang dan jasa. LKBB di Indonesia antara lain adalah pasar modal, asuransi, pegadaian, perusahaan pembiayaan, dan dana pensiun.
Adanya LKBB yang semakin berkembang, maka kebijakan moneter yang akan diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter menghadapi tantangan yang berat karena berbagai faktor yang mendukung kebijakan moneter mengalami perkembangan yang luar biasa antara lain makin kompleksnya sistem keuangan, yaitu lembaga keuangan baru terutama terkait dengan berkembangnya pasar modal sebagai sumber pendanaan alternatif bagi perusahaan.
Dalam hal pendanaan bagi masyarakat, hubungan antara perbankan dan pasar modal sangat erat. Apabila masyarakat menghadapi kesulitan dalam pengambilan kredit di bank, karena misalnya persyaratan yang ketat, maka masyarakat dapat mencari alternatif salah satunya dengan mengambil dana dari pasar modal. Perkembangan pasar modal yang sangat pesat akan berimbas pada sektor moneter, oleh karenanya perlu pengaturan yang jelas antara perbankan dan pasar modal.
Koordinasi antara kebijakan moneter dengan pasar modal akan mempengaruhi kebijakan moneter. Dalam hal ini, apabila perbankan mengalami kesulitan likuiditas, maka Bank Indonesia berperan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir), namun dalam pasar modal tidak ada badan yang berperan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir).
Harapan ke depan terdapat pembagian tugas untuk badan yang berperan sebagai sumber dana atau LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir), yaitu pasar modal diharapkan bertindak sebagai sumber dana investasi jangka panjang bagi perusahaan, sementara perbankan berperan sebagai sumber dana menengah dan jangka pendek.
Setelah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral diganti dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka tugas Bank Indonesia adalah menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.[4] Bahkan secara tegas disebutkan pula bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan bank, Bank Indonesia diberikan wewenang untuk menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha bank serta mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah mengamanatkan bahwa tugas pengawasan dan pengaturan diserahkan kepada Bank Indonesia. Apabila tugas pengaturan dan pengawasan diserahkan kepada dua lembaga yang berbeda akan mengakibatkan suatu kerancuan, karena pada prinsipnya adalah lembaga yang mengatur adalah juga merupakan lembaga yang mengawasi.

II.      PEMBAHASAN
Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan)[6] disebutkan bahwa tugas mengatur diartikan dengan pembinaan yang merupakan upaya menciptakan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha, pelaporan, serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank.
Pendapat dari Pengamat Ekonomi Aviliani menilai bahwa pemberlakuan OJK saat ini belum diperlukan, karena berdasarkan pengalaman di beberapa Negara, penerapan OJK tidaklah terlalu efektif atau bahkan gagal, sehingga kebijakan sektor keuangan seharusnya tetap ditangani oleh otoritas moneter, Bank Indonesia, apabila pihak lain yang menangani, maka kebijakan akan semakin lambat.[7]
Hal senada dikemukakan oleh Ryan Kiryanto, pengamat perbankan,[8] yang menilai pengawasan perbankan di bawah Bank Indonesia justru lebih baik apabila seluruh kegiatan di sektor perbankan dipegang oleh OJK, sebab kondisi perbankan sangat dekat dengan kebijakan moneter yang menjadi otoritasnya Bank Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa OJK yang diterapkan di Inggris dan Hongaria terbukti gagal, bahkan di Australia yang sebagian pengawasan dilakukan Bank Sentral dan sebagian lagi dilakukan oleh OJK, tetap juga gagal, sehingga perlu tidaknya OJK harus dibahas lebih dalam lagi. Apabila OJK tetap direalisasikan, maka lembaga ini akan terkesan superbodi, sebab lembaga tersebut tidak hanya mengawasi bank, tetapi juga mengawasi lembaga keuangan yang jumlahnya sangat banyak.
Hal senada ditambahkan oleh Aviliani,[9] yang menegaskan penolakan atas pembentukan OJK, sebab dikhawatirkan laporan dari bank akan lama dikelola OJK, karena lembaga OJK tidak hanya mengawasi perbankan, tapi seluruh lembaga keuangan, sehingga sistem pengawasan menjadi tidak fokus. Dalam rangka memperbaiki pengawasan perbankan, tidak perlu dibentuk OJK, namun Bank Indonesia harus melakukan berbagai perubahan, seperti mendorong bank-bank untuk go public, mengintegrasikan pengawasan bank dan anak-anak usahanya, dan melarang beroperasi bank milik keluarga.
Pendapat serupa disampaikan oleh Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, yang menyampaikan bahwa di semua Negara dalam aspek stabilitas keuangan, pengawasan bank berada di Bank Sentral, dengan pertimbangan bahwa yang paling siap untuk bertindak ketika ada ancaman stabilitas sistem keuangan adalah Bank Sentral.[10]
Sementara itu, Bank Indonesia mempunyai prinsip[11] bahwa model pengawasan bank yang paling cocok adalah oleh Bank Sentral. Namun, apabila OJK tetap dibentuk dan sistem pengawasan bank sudah menjadi kewenangan OJK sepenuhnya, maka Bank Indonesia tetap memiliki keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat. Hal tersebut sangat penting untuk mendukung fungsi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan mata uang rupiah dan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir) dalam rangka menyelamatkan sistem keuangan.
Bank Indonesia memerlukan informasi yang memadai terhadap lembaga keuangan yang sistemik, untuk mempercepat penyaluran likuiditas, mengingat faktor kecepatan dan ketepatan dalam pemberian bantuan kepada bank yang tengah menghadapi krisis likuiditas sangat penting dan transaksi pembayaran antar bank terjadi dalam hitungan detik. Untuk itu maka dengan adanya pemisahan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia, dapat saja berdampak pada kurang optimalnya peran Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.   
Hal berbeda dikemukan oleh Novri Irza Hidayattullah, praktisi perbankan,[12] yang mengemukakan bahwa idealnya fungsi pengawasan harus lepas dari Bank Indonesia, sehingga Bank Indonesia akan fokus pada pemegang otoritas moneter termasuk menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi yang sesuai bagi perekonomian.
Terlepas dari beberapa pendapat tersebut di atas, pembentukan OJK tersebut yang pasti akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani kepentingan setiap regulator pengawasan saat ini.
Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK yaitu : Melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap :
a.       Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;
b.      Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;
c.       Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya. 
Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang mempunyai relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Indonesia).[13]
Disadari bahwa berbagai krisis ekonomi dan kemudian pada akhirnya terjadi krisis global yang menerpa Indonesia, telah memberikan pelajaran penting terkait dengan fungsi pengawasan bank pada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kegagalan di bidang pengawasan perbankan tersebut dijadikan sebagai tolok ukur untuk membentuk lembaga pengawasan bank.
Dalam rangka memperkuat pengawasan sektor keuangan tersebut kemudian dibentuk OJK, dengan harapan pengawasan terhadap lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank menjadi lebih baik. Adapun pembentukan OJK disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia, akibatnya model OJK yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia akan dianggap melanggar Undang-Undang.
Konsep dibentuknya lembaga pengawasan di Indonesia yang dipilih adalah otoritas penuh. Kewenangan pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan LKBB berada dalam satu lembaga, sehingga tiga otoritas pengawasan yaitu pasar modal, perbankan, dan LKBB akan bergabung menjadi satu otoritas yang bersifat independen. Artinya Bank Sentral hanya memiliki kebijakan moneter tanpa berwenang melakukan pengawasan bank. Agar Bank Sentral tetap mendapatkan informasi mengenai kondisi bank, maka Bank Sentral berkoordinasi dengan otoritas pengawasan tersebut dengan cara Bank Sentral menempatkan pejabatnya secara ex officio sebagai anggota Dewan Komisioner otoritas pengawasan sekaligus sebagai Chief Supervisory Officer (CSO).
Saat ini dirasakan kebutuhan atas sistem pengawasan satu pintu menjadi penting, baik terhadap lembaga keuangan bank maupun LKBB, mengingat banyak produk dari LKBB dipasarkan melalui industri perbankan, sehingga akan memudahkan dalam pemeriksaannya. Namun demikian, pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasan tersebut harus merupakan lembaga yang independen tidak berada di bawah Pemerintah, untuk menjamin lembaga tersebut bebas dari intervensi politik atau kepentingan.
Selain itu, untuk menghindarkan adanya conflict of interest, mengingat Pemerintah memiliki pula saham di beberapa bank di Indonesia. Sesuai dengan amanat Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia, maka untuk mewujudkan independensi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Bank Indonesia, maka lembaga pengawasan tersebut harus independen, sehingga harus bertanggung jawab kepada DPR bukan kepada Presiden. Pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia harus pula didukung dengan sistem hukum yang baik untuk menjamin adanya koordinasi antara otoritas perbankan dan otoritas moneter.
Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, mengatur bahwa OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam menyusun pengaturan tertentu terkait dengan pengawasan di bidang perbankan. Kemudian, Pasal 40 UU No. 21 Tahun 2011 lebih lanjut mengatur bahwa untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam rangka penyusunan peraturan pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap bank dengan menyampaikan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
Selanjutnya Pasal 69 ayat (1) huruf (a) UU No. 21 Tahun 2011 menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential, sedangkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential.  Berkaitan dengan hal tersebut, jelas bahwa tugas pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara independen oleh OJK, karena pengaturan microprudential dan macroprudential akan sangat berkaitan.   
Dengan demikian dapat dilihat bahwa OJK masih memiliki ”hubungan khusus” dengan Bank Indonesia terutama dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Dapat dijelaskan bahwa bagaimanapun Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, dimana sebelum keluarnya UU OJK dan pengalihan pada akhir bulan Desember Tahun 2013 yang akan datang, Bank Indonesia masih mengemban dan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank dan me[14]miliki pengalaman lebih lama dalam mengatur dan mengawasi perbankan sehingga masukan pengaturan yang disampaikan oleh Bank Indonesia akan memliki pengaruh yang besar dalam pengaturan yang dilakukan oleh OJK. 
Selain itu, ”hubungan khusus” antara OJK dengan Bank Indonesia lainnya dapat dilihat dalam Pasal 41 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011, dimana OJK menginformasikan kepada Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan kesulitan likuiditas atau memburuknya kesehatan pada bank. Adapun yang dimaksud dengan langkah-langkah tersebut yaitu pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek dalam menjalankan fungsi Bank Indonesia sebagai ”lender of the last resort” (LoLR).
Berdasarkan hal tersebut, maka apabila bank mengalami kesulitan likuiditas atau memburuknya kesehatan bank, maka Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada bank dengan jaminan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan Bank Indonesia sebagai LoLR masih sangat diperlukan disektor perbankan dan OJK nantinya masih akan bergantung kepada Bank Indonesia khususnya yang terkait dengan penyelamatan bank.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikaji bahwa Independensi OJK secara kelembagaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, khususnya dalam sektor perbankan harus dilaksanakan dengan lebih optimal, karena masih terdapat hubungan yang sangat erat antara OJK dengan Bank Indonesia. Dengan demikian meskipun  pengawasan   perbankan  telah  beralih   kepada OJK sebaga   lembaga pengawasan,  namun Bank Indonesia tetap memiliki kewenangan dan akses terhadap data dan informasi dari lembaga-lembaga perbankan.
Oleh karena itu Undang-Undang Bank Indonesia perlu diamandemen, khususnya terkait dengan (1) kewajiban bank untuk menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia terkait dengan kelancaran pelaksanaan tugas di bidang kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan, (2) pengaturan fungsi Bank Indonesia di bidang stabilitas sistem keuangan termasuk kewenangan untuk memantau (surveilance), memeriksa bank dalam rangka pelaksanaan tugas moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.
Pembentukan otoritas pengawasan haruslah menjadi solusi permasalahan sistem keuangan selama ini, bukan sebaliknya, justru menjadi permasalahan baru. Dewasa ini, perkembangan lembaga keuangan sangat pesat dan menjadikan permasalahan dalam sistem keuangan semakin kompleks karena semakin terintegrasinya antara sub sistem pasar uang, pasar modal, pasar saham, pasar komoditas, berikut derivasi produknya, semuanya ini memerlukan lembaga pengawas yang andal, transparan, akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan), dan kredibel (dipercaya).
Konsep ke depan, dengan belajar dari pengalaman kasus Bank Century sebagai pelajaran berharga, pengalaman saat krisis moneter Tahun 1997 – 1998, dan krisis keuangan global yang meruntuhkan lembaga-lembaga keuangan terkemuka di dunia, serta pengalaman Negara maju dalam mengatasi krisis keuangannya, maka yang harus dilakukan adalah merespons persoalan krisis yang dihadapi karena ke depan yang diperlukan adalah penguatan koordinasi, bukan hanya mengambil alih tugas pengawasan bank yang telah ada yang dirasakan masih kurang efektif untuk menjaga kelangsungan usaha individual bank ataupun merespon pencegahan krisis atau meminimalkan dampak krisis.
Sektor keuangan, khususnya perbankan, dapat diibaratkan sebagai organ jantung dalam tubuh, sehingga apabila perbankan terganggu, maka organ tubuh lainnya dapat ikut terganggu. Sebagaimana diketahui bahwa untuk jangka menengah dan panjang, perbankan masih mendominasi sistem keuangan di Indonesia, sementara konglomerasi atau universal banking yang merupakan awal dari pertimbangan pendirian OJK menjadi sesungguhnya menjadi tidak relevan, karena konglomerasi atau universal banking belum berkembang di Indonesia.
Selanjutnya, koordinasi antara pengaturan dan pengawasan, otoritas perbankan dan moneter dengan otoritas fiskal untuk memperkuat deteksi dini tentang arah dan kecenderungan di pasar keuangan juga menjadi sangat penting.
Dapat dilihat dari perjalanan Bank Indonesia pasca keluarnya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang independen, bahwa pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia saat ini lebih efektif dibandingkan sebelum independensi Bank Indonesia, sehingga dalam beberapa tahun terakhir ini sistem perbankan lebih stabil dengan kecenderungan menguat. Bank Indonesia saat ini sudah menerapkan pengawasan bank secara konsolidasi.
Untuk itu, integrasi pengawasan jasa keuangan pada saat ini diperlukan dalam rangka peningkatan efektivitas  pengawasan jasa keuangan,  karena akan memperkuat perumusan dan pengendalian kebijakan moneter dan memperkokoh stabilitas ekonomi makro. Selain itu, apabila dilihat dari kesiapan, Bank Indonesia telah memiliki infrastruktur yang memadai untuk pengawasan lembaga jasa keuangan. 
    
III.        PENUTUP
1.        Kesimpulan
  1. Pembentukan OJK akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani kepentingan setiap regulator pengawasan di Indonesia.
  2. Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang mempunyai hubungan koordinasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Indonesia).
  3. Independensi OJK secara kelembagaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, khususnya dalam sektor perbankan harus dilaksanakan dengan lebih optimal, karena masih terdapat hubungan yang sangat erat antara OJK dengan Bank Indonesia. Dengan demikian meskipun  pengawasan   perbankan  telah  beralih   kepada OJK sebaga   lembaga pengawasan,  namun Bank Indonesia tetap memiliki kewenangan dan akses terhadap data dan informasi dari lembaga-lembaga perbankan. Untuk itu sistem integrasi sistem keuangan di Indonesia dapat berjalan dengan maksimal yang didasarkan pada legal framework yang jelas dan regulasi yang efektif.

2.        Saran
a.    Sebaiknya harus dipastikan koordinasi yang efektif antara kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan.
b.    Dengan telah dibentuknya OJK,  yang harus diantisipasi adanya   risiko terhadap stabilitas sistem perbankan dan kemajuan di bidang pengawasan bank yang telah dicapai oleh Bank Indonesia saat ini. Hal ini, karena lembaga baru tidak dapat serta merta memiliki kemampuan dan pengalaman untuk melakukan pengawasan bank secara efektif. Dalam kondisi krisis ekonomi, bahkan dapat menimbulkan systemic risk (risiko sistemik) dan moral hazard. Hal tersebut juga dapat merusak sistem pengawasan bank yang saat ini sudah berjalan dengan baik. Selain itu, kegagalan sistem pengawasan bank akan menurunkan kepercayaan pasar terhadap industri perbankan Indonesia yang pada akhirnya akan meningkatkan country risk (risiko Negara). 
c.    Pembentukan OJK sebagai lembaga baru membutuhkan banyak biaya,  untuk penyediaan sumber daya manusia sarana, dan prasarana pendukung, mengingat lembaga di luar Bank Indonesia mendapatkan dana operasional dari Negara yang berasal dari APBN, maka keterbatasan anggaran akan tetap terjadi walaupun keadaan tidak krisis. Berbeda dengan Bank Indonesia yang memiliki sumber pendanaan sendiri, sehingga pengembangan sistem pengawasan bank tidak akan terhalang oleh keterbatasan anggaran.
d.   Independensi OJK adalah faktor yang sangat penting bagi lembaga pengawas. Apabila pengawasan bank dilakukan oleh lembaga tersendiri yang berada di bawah Menteri atau Presiden, tidak ada jaminan lembaga tersebut akan bebas dari intervensi politik atau kepentingan. Selain itu, dapat pula timbul conflict of interest mengingat Pemerintah juga memiliki saham di beberapa bank besar di Indonesia. Apabila pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia akan menjadi berbeda, karena Bank Indonesia adalah lembaga yang independensinya diamanatkan dan dijamin oleh Konstitusi dan Undang-Undang.
DAFTAR PUSTAKA
A.      Buku :
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia, Booklet Perbankan Indonesia 2010. 

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.

Humas Bank Indonesia, Krisis Global, Dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, Jakarta, 2010. 

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Zulfi Diane Zaini, Independensi Bank Indonesia Dan Penyelesaian Bank Bermasalah, Keni Media, Bandung, 2012.
Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, Books Terrace & Library (Pusat Informasi Hukum Indonesia), Bandung, 2005.


B.       Perundang-Undangan Dan Perarturan Lainnya :


Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian sebagian pasal-pasalnya telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Undang-Undang  Nomor 23 Tahun 1999  tentang Bank Indonesia yang kemudian sebagian pasal-pasalnya telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang kemudian Undang-Undang tersebut terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
C.      Sumber Lain :

Fransiska Ari Indrawati, Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan Bank Indonesia Volume 10 Nomor 1, Januari – April 2012.

 

Novri Irza Hidayattullah, ”Saatnya OJK Segera Diimplementasikan”, Surat Kabar Kontan, Jakarta, Tanggal 16 Februari 2010.





[3/02/2010].



[1] Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.
[2]Penjelasan Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia.
[3]Butir III.d Penjelasan Umum Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
[4]Pasal 8 dan Pasal 24 Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
[5]Penjelasan Umum alinea 10 Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
[6]Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan).
[12]Novri Irza Hidayattullah, ”Saatnya OJK Segera Diimplementasikan”, Surat Kabar Kontan, Jakarta, Tanggal 16 Februari 2010.
[13]  Penjelasan Umum Paragraf 10 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.
[14] Fransiska Ari Indrawati, Mencermati Celah Independensi OJK Dalam UU OJK, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebanksentralan Bank Indonesia Volume 10 Nomor 1, Januari – April 2012.

Kamis, 06 Desember 2012

Buku Penulis



Tampilan Depan Buku


Tampilan Belakang Buku











Selasa, 27 November 2012

CURRICULUM VITAE (CV) IDENTITAS DIRI


DR. ZULFI DIANE ZAINI, S.H., M.H.

Lahir di Tanjungkarang pada Tanggal 15 Mei 1967

Beragama Islam, bekerja sebagai Dosen tetap Fakultas Hukum di Universitas Bandar Lampung, dengan Jabatan Akademik Lektor.
Berdomisili di Bandar Lampung.
e-mail : zdianezaini@yahoo.co.id





RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI  :

1.     1989  : Sarjana Hukum    -  Universitas Lampung
Fakultas Hukum  -  Jurusan Hukum Keperdataan

2.     2000  : Magister Hukum  - Universitas Padjadjaran - Bandung
Ilmu Hukum, Bidang Kajian Utama : Hukum Bisnis

3.     2011  : Doktor    -   Universitas Padjadjaran – Bandung
Ilmu Hukum, Bidang Kajian Utama : Hukum Bisnis




PENGALAMAN MENGAJAR :

A.   Semester Ganjil (1992 – 2008) :   (FH – UBL)

1.     Hukum Perbankan (2 SKS)
2.     Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (3 SKS)
3.     Hukum Akternatif Penyelesaian Sengketa (2 SKS)

B.    Semester Genap (1992- 2008) :    (FH-UBL)
     
1.   Hukum Dagang Internasional  (2 SKS)
2.   Pengantar Hukum Bisnis        (2 SKS)
3.   Hukum Perusahaan                (2 SKS)

C.     Semester Ganjil (2006-2008)  :  (MH – UBL)
  
1.   Sistem Badan Hukum   (3 SKS)

D.    Semester Genap  (2006-2008)   :   (MH – UBL)
           
1.   Hukum Perdagangan Internasional  (2 SKS)   

PUBLIKASI BUKU :

1.     IDEPENDENSI BANK INDONESIA DAN PENYELESAIAN
BANK BERMASALAH ,
Penerbit : Keni Media - Bandung.

2.     "PERSPEKTIF BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA IDEPENDEN DALAM RANGKA PEMBANGUNAN HUKUM PERBANKAN NASIONAL DI INDONESIA"
Buku : POTRET HUKUM, Yogyakarta 2012.

KEGIATAN PROFESIONAL/PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT :

1.        Seminar Daerah        : AFTA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA, Bandar Lampung (Universitas Bandar Lampung), September 2003. (Sebagai Pembicara)

2.     Seminar Daerah        : EVALUASI ARAH PEMBANGUNAN LAMPUNG PERIODE 2004 – 2009 (DALAM  ASPEK HUKUM EKONOMI) ( Seminar Sehari PMII – Propinsi Lampung ), Bandar Lampung 28 Desember 2005. (Sebagai Pembicara)

3.        Seminar Nasional     : PEREKONOMIAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS (Seminar Sehari PMII – Propinsi Lampung), Bandar Lampung 24 Juli 2006. (Sebagai Pembicara)

4.      Diskusi Terbuka      : PEREMPUAN, PENDIDIKAN DAN GENDER (Diskusi Terbuka Peringatan Hari Pendidikan Nasional oleh Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan), Bandar Lampung 2 Mei 2007. (Sebagai Pembicara)

5.        Anggota Penyusunan RAPERDA TRAFFIKING – Propinsi Lampung,   Biro Hukum  dan Biro Pemberdayaan Perempuan – Pemerintah Provinsi Lampung, Bandar Lampung Tahun 2006.

6.        Anggota Penyusunan RAPERDA PERLINDUNGAN ANAK – Propinsi Lampung, Biro Hukum dan Biro Pemberdayaan Perempuan- Pemerintah Provinsi Lampung , Bandar Lampung Tahun 2007.

7.        Seminar Nasional Dan Lokakarya : “Strategi Gerakan Perempuan Dalam Politik Ditingkat Lokal dan Nasional”, (Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri), Bandar Lampung 11-13 Januari 2008. (Sebagai Pembicara)

8.        Seminar tentang : Knowledge Product On Islamic Finance diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Hukum – Fakultas Hukum UNIKOM Bandung bekerjasama dengan Krinke Business Law Consulting & Training, Sukajadi Hotel Bandung, 20 Januari 2009. (Sebagai Pemateri)

9.        Seminar Daerah tentang : Perempuan dalam Kegiatan Politik Di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri (Bidang Sosial dan Politik) bekerjasama dengan Organisasi Masyarakat SALIMAH, Bandar Lampung, Juli 2011.  (Sebagai Pembicara)


JABATAN DALAM PENGELOLA INSTITUSI  :

1.        Sekretaris Jurusan Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum
Universitas Bandar Lampung, Tahun 1994-1997;
2.        Koordinator dan  Ketua Unit Proses Belajar Mengajar
(Teaching Learning Center), Tahun 2003-2004;
3.        Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat,
sekaligus Kepala Marketing Universitas Bandar Lampung, Tahun 2004-2007;
4.        Kepala Pusat Studi Hukum Perbankan Universitas Bandar Lampung
(PSHP UBL), Tahun 2011.




ORGANISASI PROFESI/ILMIAH

1.  Tim Advokasi Hukum dan HAM pada Kaukus Perempuan Politik Kota Bandar Lampung, Tahun 2007 – 2012;

2.     Ketua Departemen Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Perempuan Mandiri Republik Indonesia (DPP PMRI), Tahun 2011 – 2016.